Daerahku dialiri sebuah sungai dengan air keruh. Setiap hari, anak-anak kecil datang bermain air dengan telanjang dada menyelurup di air kuning bercampur limbah. Atau terkadang, ada gumpalan-gumpalan kuning yang mengembang. Gumpalan itu mengembang pelan dengan menyebarkan bau. Namun ibu-ibu tetap turun ke sungai untuk mencuci seluruh pakaian kotor. Jaman dahulu aku selalu ingat ketika menakuti ibu-ibu jika di sungai berdiam buaya tawar. Buaya itu mengelilingi sungai dan mencari mangsa ibu-ibu muda atau hamil tua. Sekarang generasi mencuci di sungai itu terus berlanjut. Tidak hanya mencuci, anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, hampir sebagian mandi dengan sabun di sungai. Kadang para pekerja bangunan turun ke sungai untuk membersihkan badan. Juga kerbau dari kampung turun begitu gembira karena mendapat air yang tenang untuk berendam. Sehingga lama kelamaan sungai itu mulai luntur kesuciannya, dan beralih menjadi cokelat tua dan keruh. Sehingga orang-orang menamakan namanya: sungai keruh.

                                                    @

Jika malam, hanya suara jangkrik dan katak bersahut-sahutan di pinggir pematang. Kadang pencari ikan dan belut menyusuri sungai malam-malam dengan alat setrum. Namun jika kalian semua para pembaca jeli. Malam, sebagian dari tempat sungai itu akan mengeluarkan cahaya terang. Mula-mula memang cahaya remang macam kunang-kunang, tapi sesungguhnya tempat di pojokan sungai itu mengeluarkan cahaya yang terang. Tapi ketika beberapa orang penasaran dan mendatangi, cahaya terang itu tiba-tiba saja menghilang.

‘’Barangkali saja memang sekelompok kunang-kunang.’’ Kata orang-orang.

‘’Mana mungkin, cahaya itu muncul setiap malam, macam lampu petromaks.’’ Sahut yang lain.

‘’Buktinya ketika didatangi cahaya itu menghilang. Jika memang kunang-kunang, pasti cahaya itu terbang. Kenyataannya malah hilang.’’ Sahut yang lain lagi.

Cahaya itu tumbuh di bawah pohon meranti. Dibawahnya tertanam sebuah penanda mirip nisan. Konon, orang-orang mengatakan jika itu merupakan nisan penanda tapal batas desa. Karena dahulu wilayah kami merupakan tanah perdikan jaman Mataram. Lain lagi orang-orang mengatakan jika itu bukan tapal batas tanah perdikan. Karena tapal batas tanah perdikan itu sudah didirikan umpak-umpak di gerbang desa, juga dengan sengkalan tahun yang jelas. Orang yang lain, mempunyai pendapat jika itu bukan tapal batas, melainkan nisan makam. Tanda jika itu merupakan makam adalah karena batu itu terbuat dari batu gunung, ada ukiran-ukiran tidak jelas karena sudah kabur tergerus air sungai dan tertutup lumut hijau. Lagipun anak-anak sering menaikinya sebagai landasan loncatan ketika terjun ke sungai keruh. Dan orang-orang tua jaman dulu hanya mengatakan: nisan itu sudah ada sejak jamanku, dan tidak ada yang tahu.

###

Siang hari saat matahari memicing, aku dan Paidi mencari ikan dengan cara setrum. Tentu cara ini lebih berhasil ketimbang memancing. Dengan setrum ikan akan kelonjatan dan menyerah dengan sendirinya. Tentu hasil tangkapan kami akan bertambah banyak, dan kami tidak membutuhkan waktu lama untuk mencarinya.

Aku dan Paidi sering mencari ikan gabus, wader, dan kutuk di sepanjang bantaran sungai keruh. Siang ini sedikit aneh, tidak ada anak-anak yang biasanya langsung bermain ke sungai sepulang sekolah. Sungai dalam keadaan sepi, dan kami merasakan hari ini lain dengan biasanya.

Dan siang itu kami tidak pernah tahu. Secara menakjubkan, kekuatan supranatural gaib bisa saja terjadi di siang bolong. Dan kejadian itu benar-benar terjadi di depan mataku, dan gamblang aku cirikan.

Aku dan Paidi kaget bukan main begitu ditemui sosok tua berjubah putih yang berdiri di samping pohon meranti, samping nisan tua. Sosok tua itu mempunyai kumis dan jenggot panjang putih. Sosok itu berdiri dengan kaki menyentuh tanah. Dan jika kalian tahu, tangan sosok tua itu menunjuk nisan tua di samping pohon meranti. Sosok itu tidak mengatakan apa-apa kepada aku dan Paidi. Tapi yang jelas, setelah itu sosoknya menghilang. Dan aku mendapati Paidi sudah pingsan.

                                                 @

Gegeran tentang sosok tua menjadi pembicaraan di kampung kami:

‘’Jam berapa kamu bertemu?’’

‘’Sekitar jam satu.’’ Jawabku.

‘’Kamu tidak nglindur, kan?’’

‘’Mana mungkin, aku masih sadar.’’

‘’Paidi?’’

‘’Juga sadar, ia yang memberitahuku lebih dulu. Sosok itu muncul kurang dari satu menit, dan menghilang secara tiba-tiba.’’

‘’Kamu tidak takut?’’ Tanya warga desa.

Aku menggeleng. ‘’Kelihatannya sosok itu baik. Tangannya menunjuk ke nisan tua. Barangkali kita bisa menanyakan kepada orang pintar.’’ Aku mencoba memberi solusi.

‘’Soal ini bisa kita bicarakan kepada Pak Lurah.’’

Dan aku mengangguk.

  ###

Pak Lurah ingin membereskan semua masalah ini dengan pergi ke dukun. Tapi tidak pernah terjadi karena setelah itu salah seorang warga memberi usulan:

‘’Lebih baik kita sowan ke kyai. Barangkali kyai lebih tahu.’’

Dan usulan itu diterima secara spontan oleh kami. Dengan tanggal yang sudah ditentukan, kami berniat mendatangi Kyai Umar, kyai tua yang kondang dan alim di daerah pesisir. Mula-mula kami disuruh salah seorang abdi ndalem untuk antre, karena Kyai Umar kebanjiran tamu. Kami sendiri merasakan jika kami mencari solusi kepada orang yang tepat. Barangkali dengan ini rahasia tentang nisan tua itu akan terungkap. Dan kami tidak lagi sibuk menerka-nerka, dan tentunya, rahasia itu sebentar lagi akan terbongkar.

###

Aku menceritakan asal-usul pertemuan ajaib itu kepada Kyai Umar. Juga nisan tua di bawah pohon meranti yang aku pikir, ada kaitannya dengan sosok tua itu. Mula-mula Kyai Umar sedikit terkejut. Kemudian diam dan tersenyum, lalu mulai menceritakan tentang sosok itu kepada kami. Sehingga rahasia tentang nisan tua itu menjadi jelas dan gamblang.

‘’Tidak usah takut. Beliau dahulu orang alim yang baik.’’ Kyai Umar membuka ceritanya.

‘’Beliau dahulu adalah santri di Makkah, mempunyai tugas menyalakan lampu teplok saat pengajian malam di Masjidil Haram berlangsung. Namanya Syeikh Abdullah. Beliau orang Jawa asli. Kemungkinan besar, saat perjalanan pulang, Syeikh Abdullah sakit-sakitan dan meninggal mendadak di pinggir sungai itu.’’ Lanjut Kyai Umar.

Kami semua luar biasa terperangah mendengar cerita dari Kyai Umar.

‘’Apakah kalian tahu kenapa nisannya setiap malam bercahaya?’’

Kami semua kompak menggeleng. Sungguh kami penasaran mendengarkan kelanjutannya.

‘’Itu karena barokah menyalakan lampu teplok setiap malam di Masjidil Haram. Dan khidmah Syekh Abdullah diterima oleh Imam-imam besar yang mengajar disana.’’

‘’Kemungkinan besar, Syeikh Abdullah meminta makamnya diperbaiki dan dirawat. Dan satu pesan saya, adakan haul mengenang kematiannya setiap tahun, supaya desa kalian bertambah berkah.’’ Kata Kyai Umar.

Setelah apa yang diceritakan Kyai Umar terdengar olehku, lega perasaanku. Hari itu juga setidaknya teka-teki tentang sosok tua itu resmi terjawab. Dan aku sudah menduga jika nisan yang setiap malam selalu bercahaya itu, bukan nisan biasa!

###

Beberapa minggu setelahnya, makam Syeikh Abdullah telah dipugar. Sisi pinggir sungai itu ditimbun dan diperlebar. Makam itu dipasangi cungkup dan gerbang besi. Pesan Kyai Umar kami dengarkan baik-baik. Dan untuk mencari tanggal pelaksanaan haul, karena kami tidak tahu tanggal kematian Syeikh Abdullah, akhirnya kami pilih tanggal pertemuanku dengan beliau sebagai tanggal dilaksanakannya haul.

‘’Supaya gampang diingat masyarakat, lebih baik kita namakan makam ini dengan nama ‘Wali Teplok.’’ Bagaimana?’’ Kataku memberi usulan.

‘’Wali teplok?’’ Sebagian warga mengkerut.

‘’Betul, hanya sebuah julukan. Bukankah dulu masyarakat Gresik pesisir menjuluki Sunan Malik Ibrahim dengan julukan ‘Kakek Bantal’.’’ Aku menguatkan argumen.

Orang-orang yang sidang pada malam hari ini mengangguk.

                                                                           November 2020.

 Agil Faturahman: penulis lepas. Instagram: agil_faturohman